apa boleh aku mencintaimu layaknya aku mencintai bait-bait aksaraku?
apa boleh aku sibuk mengharapkanmu layaknya anak-anak yang mengharapkan pelangi saat redanya hujan?
diatas pemakaman bersimpuh penuh amarah. Aku sibuk mengamati mukamu yang memerah disengat matahari yang merekah. Cukup sudah, dua jam lamanya kau menangis tanpa jeda. "ayo pulang" ajaku mengenggam jemarimu. Kau menyerah tak menolak, lelah sepertinya.
-
benar, hari ini seorang tuan kehilangan ayahnya. Aku paham benar bagaimana hancurnya ditinggalkan seorang ayah. Aku tidak memintanya untuk kuat dan tabah, belum lebih tepatnya, biarkan dia menangis sejadi jadinya, ada pundak yang siap menjadi teduhnya. Beberapa kilometer perjalanan ditempuh, kuambil alih kemudi 'biar aku yang mengemudi' kata ku ketika kabar dari telfon genggam nya berdesir. Laki-laki juga bisa bersedih pun menangis, namun dia memilih meremas jemarinya kuat kuat. Pikirannya kacau berterbangan kemana mana. Sesampainya di rumah duka, barulah dia bersimpuh penuh air mata.
Jakarta-Bandung harus kutempuh sendirian, kubiarkan dia beberapa hari menetap di rumahnya, biarkan memori-memori tentang ayahnya berhasil ia simpan rapih sendirian. Oh, aku lupa mengenalkannya kepada kalian, perkenalkan dia si pecinta seluruh isi antariksa. Tak perlu kusebutkan namanya, biar menjadi rahasia saja. Untuk pulang sendiri saja aku perlu waktu untuk berdebat dengannya. Harus beradu otot untuk membiarkan dia melepasku menyetir sendirian bandung-jakarta. Tatapan mata nya kosong seakan tak ada harapan untuk hari esok. 'akhir pekan kujemput kemari, sandarkan sejenak saja isi pikiranmu' ucapku singkat, dia mengangguk.
-
the walters sibuk berkumandang menemani perjalan, kutempuh sendirian dengan isi kepala yang meracau. Bandung sore ini diguyur hujan deras, dengan jarak pandang yang tidak begitu jauh, kuputuskan melipir sejenak ke tempat kopi di sudut kota. Sengaja memang, biar kupandangi Bandung penuh nafsu untuk sore ini. 'apakabar' gumamku dalam lamunan. Iya, bandung mengingatkan ku pada seseorang, seseorang yang ku kenal betul 6 tahun yang lalu. Sekarang entah di sudut bandung sebelah mana Ia sibuk duduk sambil membaca mantra-mantra diatas bukunya. Ketukan jemari mungil di balik kaca toko ini membuyarkan lamunanku, ucapnya dibalik kaca 'jangan melamun saja, kopimu dingin' anak kecil itu tersenyum sumringah lalu berlari pergi dibawah rintik hujan. Kusesap kopiku penuh ragu, sesak rasanya, sudah 6 tahun tidak menyesap kopi ditempat ini. Karena terakhir kali kusesap kopiku disini, seseorang berkata padaku 'sudahi saja semua ini, kau tau aku sebajingan ini, bagaimana tidak, kau sudah tau bahwa lelaki yang amat kau cinta malah tidur dengan wanita lain, didepan matamu pula'. Iya, benar. Dia kekasihku 6 tahun lalu, mengakhiri semua yang masih bisa diperbaiki. Bagiku tidur dengan wanita lain adalah sebuah pemakluman, bisa jadi memang nafsu tak terkendali saat itu. Tapi dia lebih memilih mengakhiri, yasudah.
Cukup kurasa sedikit mengingat sudut kota ini, kapan-kapan ku lanjutkan.